Tulisan ini adalah tentang film Bebas (2019) garapan Riri Riza tanpa mencoba menghubungkannya dengan film Sunny (2011) yang konon adalah rujukan dari film itu
Nama Riri Riza tentu bukan nama yang asing di dunia film Indonesia. Kiprahnya bersama Mira Lesmana, yang juga adalah produser dari film ini, sudah dimulai sejak belasan tahun lalu. Pada 1998, bekerja sama dengan Mira Lesmana, Nan Triveni Achnas, dan Rizal Mantovani, ia menyutradarai film Kuldesak yang bagi saya adalah salah satu tonggak hidup kembalinya perfilman Indonesia berkualitas setelah sebelumnya “mati suri” akibat produksi film bertema esek-esek yang sempat ramai di tahun 1980-1990an.
Lalu di tahun 2000, kembali sebuah film berkualitas lahir dari arahan tangan dingin Riri Riza, judulnya “Petualangan Sherina”. Lagi-lagi di film ini, Riri Riza berkolaborasi dengan Mira Lesmana sebagai produser yang ikut menitipkan suaminya, Mathias Muchus, untuk main sebagai ayah Sherina.
Yang tak kalah menarik, di tahun 2002, lagi-lagi bersama Mira Lesmana, ia menjadi produser sebuah film yang meledak dan laku keras di pasaran, bahkan menjadi rujukan film Indonesia berkualitas sampai sekarang, “Ada Apa Dengan Cinta?” yang pada ratusan purnama berikutnya tahun 2016, dibuatkan film lanjutannya dan juga tak kalah laris manis berjudul “Ada Apa Dengan Cinta? 2”
Ada yang menarik dari film “Ada Apa Dengan Cinta? 2”, di film ini Riri Riza terkesan mencoba mengambil sisi nostalgia dari film sebelumnya. Para penonton yang pada zamannya tergila-gila pada sosok cool Rangga (Nicholas Saputra) dan sosok anak gaul Cinta (Dian Sastrowardoyo) kembali diajak berkumpul di gedung bioskop untuk merayakan kembali kisah cinta yang terkesan belum utuh pada film pertamanya.
Bagi saya, “Ada Apa Dengan Cinta? 2” menunjukkan kecerdasan Riri Riza dalam memberi hidup pada karakter-karakter yang dilahirkan dalam film 14 tahun sebelumnya. Karakter-karakternya berhasil berkembang, menjadi dewasa, walau karakter Cinta tampak mengalami keterbelakangan alias gagal move-on, tapi setidaknya cerita tetap dapat dinikmati. Apalagi filmnya bukan hanya sibuk menceritakan tokoh-tokoh di dalamnya, tapi juga keindahan Yogyakarta dengan berbagai keunikannya.
Kesan nostalgia yang dengan cerdas berhasil digambarkan Riri Riza inilah yang membuat saya melangkah ke gedung bioskop untuk menonton film terbarunya berjudul “Bebas” (2019). Kenapa rasa nostalgia yang saya harapkan dari film itu, karena memang promosi film sebelum tayang untuk umum membawa pesan yang demikian, setidaknya yang saya tangkap.
Kesan pertama saat film ini mulai dipromosikan adalah “reunian dan nostalgia”. Beberapa teman yang nonton bareng fim ini sebelum resmi dirilis pada khalayak adalah mereka yang berasal dari sebuah SMA dan nonton bareng dengan teman-teman lamanya. Tulisan “Atas nama persahabatan, nostalgia, cinta pertama & masa SMA, nantikan reuni yang paling mengharukan dengan #ReuniDiBioskop nonton Film BEBAS.” di bawah cuplikan resmi filmnya di kanal Youtube, makin mengentalkan kesan itu.
Tapi kesan yang saya dapat setelah menonton sendiri filmnya, agak berbeda. Bisa jadi karena saya tidak merasakan apa yang digambarkan oleh film itu, walaupun saya duduk di bangku SMU di zaman yang sama dengan yang digambarkan oleh film itu. Bisa jadi juga karena penggambarannya yang kurang tepat. Ada rasa yang kurang di situ.
Memang sih, sepanjang film ada kesan “memajang” barang-barang jadul yang keren pada zamannya. Tapi rasanya itu tidak cukup ketika secara keseluruhan filmnya gagal mengangkat kisah yang sesuai dengan zamannya.
Satu-satunya hal yang membawa kesan nostalgia adalah lagu-lagu tahun 90an yang menghiasi film ini dari awal hingga akhir. Sisanya hanyalah cerita drama biasa dan tidak istimewa. (Mungkin saya harusnya tidak bicara tentang cerita karena film ini benar-benar mengambil cerita dari film laris Korea).
Ketika keluar dari bioskop, saya merasa kecerdasan Riri Riza kurang tergali dalam film ini. Mungkin karena ia dibatasi oleh film rujukannya sehingga tidak bisa mengeksplor lebih dalam tentang kesan nostalgia atau reunian. Ia harus membuat film yang tidak lari dari film rujukannya.
Tentu Riri Riza dan Mira Lesmana punya banyak pertimbangan. Mungkin dari sisi pemasaran akan lebih menarik bila membuat ulang film Korea yang sudah terbukti laris di pasaran dan saat ini film Korea kan memang sedang digemari di mana-mana.
Tapi tak berhasil mengangkat kesan reuni dan nostalgia tak berarti film ini tak layak ditonton lho. Ada isu sosial yang walau tipis coba disampaikan oleh film ini. Misalnya isu tentang orang tua tunggal, isu tentang mereka yang adalah aktivis pada zamannya namun menjadi oportunis setelah zaman berubah, isu tentang pelecehan seksual yang seringkali membuat korban merasa tak berdaya karena bahkan orang yang dianggap punya otoritaspun tak percaya akan laporannya, juga isu lGBTQ yang walau sangat-sangat tipis diangkat namun tetap ada di dalamnya.
[…] Satu-satunya hal yang agak kurang dalam film ini adalah penggambarannya tentang era 90an. Di awal, film ini terlihat berusaha keras menggambarkan hal itu dengan “meniru” pembukaan serial “Reply 1988” (2015). Bahkan tingkah polah Indah, sang kakak, menurut saya meniru Sung Deok-sun dalam serial itu. Namun, semakin lama penggambaran era 90-an semakin terlepas dari film ini. Ya, mungkin memang bukan itu sih tema film ini, tapi dari judulnya saya sungguh berharap bisa sedikit bernostalgia dengan era di mana saya dibesarkan itu seperti yang pernah tergambar dalam film Bebas yang pernah saya ulas di sini. […]