Comfort movie seperti halnya comfort food bukan hanya berarti film yang kita tonton sebagai penghibur baik di saat merasa mood buruk, bosan, atau butuh kekuatan, tapi juga film yang kita tonton saat membutuhkan suasana tertentu yang tergambar dalam jalan cerita atau kenangan yang melekat dengan film tersebut.

Salah satu ciri comfort movie adalah tidak bosan-bosannya film itu kita tonton berulang-ulang. Selain itu, comfort movie juga tidak pernah usang. Di hari-hari yang santai, kita selalu ingin kembali menikmatinya.

Saya sendiri mengaku punya beberapa comfort movie, dan ini adalah 5 film Indonesia yang merupakan comfort movie saya.

Ada Apa Dengan Cinta (2002)

Comfort movie
Salah satu adegan di kamar Cinta yang desain dan isinya sangat saya tiru untuk kamar saya masa itu. Sumber: detik.com

Ada Apa Dengan Cinta (AADC) bercerita tentang Cinta dan keempat sahabatnya yang menjalani dinamika khas anak SMU. Di dalamnya ada penggambaran tentang kentalnya persahabatan masa sekolah di mana masing-masing anggota “geng” saling mendukung satu dengan yang lain tanpa syarat. “Masalah salah satu di antara kita adalah masalah kita semua. Musuh salah satu di antara kita adalah musuh kita semua,” demikian kata-kata dalam pembuka film tersebut.

Konflik muncul ketika Cinta berkenalan dengan Rangga yang adalah seorang yang tidak populer, kalau tidak mau dibilang disingkirkan dari pertemanan. Rangga yang konon memiliki latar belakang keluarga bermasalah kemudian “mengganggu” norma dalam persahabatan “geng” Cinta.

Bagaimana Cinta yang adalah “ketua geng” mengatasi konflik batin di mana ia tetap ingin “geng”-nya bersatu tapi juga tidak bisa melepas jatuh hatinya pada Rangga, itulah yang coba digambarkan dalam film ini.

Sisi comfort movie dalam AADC

Bagi saya “Ada Apa Dengan Cinta” (AADC) adalah film yang lengkap untuk dijadikan comfort movie.

Saat AADC dirilis tahun 2002, saya sedang duduk di akhir masa kuliah. Saat itu bermacam kejadian indah sedang seru-serunya saya rasakan. Karena itulah sampai sekarang setiap menonton film ini lagi, saya serasa kembali masa-masa itu: masa-masa indah nonton di bioskop Wijaya, yang kini sudah tidak ada lagi, bersama teman-teman kuliah. Ini tentu menjadi salah satu nilai yang membuat film ini tidak pernah bosan saya tonton. Ada sisi nostalgia dalam film ini.

Hal lain yang juga lekat dalam AADC adalah kenangan akan masa SMU.

Ya, walaupun masa SMU saya tidak seseru masa kuliah tapi tetap saja suasana masa sekolah yang jauh dari beban hidup sungguh saya rindukan. Apalagi salah satu lokasi syuting AADC adalah di Mall Kelapa Gading. Sebuah mall yang cukup sering saya datangi semasa sekolah dulu. Jelas ini membangkitkan bermacam kenangan indah di dalamnya.

Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016)

Adegan di situs Ratu Boko yang dibuat begitu indah hingga jauh lebih menarik daripada aslinya. Sumber: pesona.co.id

Ada Apa Dengan Cinta 2 adalah reuni “geng” Cinta yang dibuka dengan adegan Cinta dan sahabat-sahabatnya saling bertukar cerita kehidupan. Ada yang sudah menikah dengan banyak anak, ada yang sedang menantikan kelahiran anak pertama, ada juga yang bermasalah dengar perceraian dan narkoba. Mereka lalu memutuskan untuk melanjutkan reunian dengan jalan-jalan ke Yogyakarta.

Di sisi lain ada juga Rangga di New York yang galau karena masa lampau memasukinya sebagai angin yang membuatnya meriang, meriang, meriang. Ia terkenang akan Cinta yang baginya panas di kening, dingin dikenang. Selain itu, secara tiba-tiba adik tirinya menemui dia di New York, membawa kabar bahwa ibunya sangat merindu Rangga.

Keputusanpun diambil, Rangga pulang ke Indonesia untuk menemui sosok ibu yang selama ini dibencinya, di Yogyakarta.

Sisi comfort movie dalam AADC 2

AADC 2 mempertemukan kembali saya dengan sosok-sosok dalam AADC yang seperti dalam paragraf sebelumnya saya anggap berhasil menghidupkan kenangan indah masa sekolah dan kuliah.

Tapi bukan itu yang menjadikan film ini comfort movie. Bagi saya AADC 2 punya sisi lain yang lebih menarik yaitu sisi pengambilan gambar dalam jalan-jalan mereka menikmati Yogyakarta. Ini benar-benar membangkitkan keinginan saya untuk bertualang.

Ada satu masa dalam hidup saya di mana bertualang adalah sebuah kegiatan rutin. Bukan hanya menjelajah kota-kota di luar negeri tapi juga pulau-pulau kecil tak berpenghuni di daerah Maluku. Dan kenangan ini yang terbangkitkan oleh film AADC 2.

AADC 2 yang sebagian syutingnya di lakukan di Yogyakarta benar-benar berhasil membuat saya jatuh cinta pada kota itu. Semua hal di dalamnya saya nikmati betul. Mulai dari pemandangannya, makanannya, sampai ke lokasi-lokasi syuting yang tampak indah dan ingin saya datangi.

Jangan heran kalau saya dua kali ke Yogyakarta hanya untuk napak tilas semua lokasi syuting AADC 2.

Mencari Hilal (2015)

Sumber: Wikipedia

Film Mencari Hilal berkisah tentang seorang ayah yang hendak pergi ke sebuah menara yang dulu selalu ia datangi bersama guru dan teman-teman sekolahnya untuk melihat hilal sebagai tanda berakhirnya bulan Ramadan.

Dengan ingatan dan tenaga yang terbatas, iapun terpaksa ditemani anak lelakinya, yang juga merasa terpaksa menemani perjalanan sang ayah. Dalam perjalanan digambarkan konflik yang sebenarnya berlandas cinta, khas ayah dan anak laki-laki.

Dalam film yang dibintangi Deddy Sutomo dan Oka Antara ini saya menemukan sosok ayah saya di masa-masa akhir hidupnya.

Ya, harus saya akui bahwa ketika ayah saya semakin berumur, ada banyak konflik yang harus kami lalui, persis seperti konflik ayah dan anak yang tergambar dalam film ini, walau tentu dengan tema yang berbeda.

Selain itu, salah satu episode di akhir hidup ayah saya, saat beliau hendak pergi berkeliling menemui saudara-saudaranya, juga sangat lekat dengan apa yang tergambar dalam film Mencari Hilal.

Selamat Pagi, Malam (2014)

Film yang satu ini adalah film kesukaan saya dan Debin. Bahkan ketika kami baru ketemu dulu, film ini sudah jadi bahan pembicaraan.

Sampai sekarang banyak dialog dalam film ini yang kami pakai sebagai dialog sehari-hari. Aneh ya…?

Kisahnya tentang tiga orang perempuan yang secara tidak sengaja berada di sebuah tempat bernama “Lone Star” malam itu. Ada Gia, Indri, dan Ci Surya yang masing-masing mempunyai masalahnya sendiri.

Gia, baru pulang ke Jakarta setelah hidup bertahun-tahun dari Amerika, harus membiasakan diri dengan kota yang terasa sudah tidak dikenalnya lagi. Begitu banyak kontradiksi di Jakarta yang baginya aneh. Dia lalu mengontak teman lamanya yang sudah lebih dulu pulang ke Jakarta, Naomi.

Saat bertemu Naomi, Giapun kaget. Naomi sudah beradaptasinya dan menjadi “orang Jakarta”. Ini bukan tanpa masalah. Naomi harus merelakan kehilangan cita-cita bahkan jati dirinya untuk bisa beradaptasi dengan kota yang baginya prakmatis dan tidak menghargai seniman, padahal seni adalah ilmu yang dia pelajari di New York.

Indri, pekerja kelas menengah-bawah yang ingin memanjat ke kelas sosial yang lebih tinggi. Malam itu walau hanya berbekal kantong belanja kosong dengan tulisan “Hermes” yang dibelinya di emperan jalan, ia ingin merebut hati seorang pengusaha yang dikenalnya melalui aplikasi perjodohan.

Ci Surya, perempuan setengah baya yang baru saja ditinggal mati suaminya. Hari itu baru tersadar bahwa suaminya tidak sebaik yang ia dan orang-orang di sekitarnya kira. Iapun berniat menemui selingkuhan suaminya di sebuah bar.

Ketiga individu tersebut membawakan ceritanya masing-masing dengan menjadikan Jakarta sebagai latar.

Banyak sudut kota Jakarta yang digambarkan secara apa adanya dalam film ini dan saya suka itu.

Sutradaranya sangat berhasil mewakili mata saya saat kembali melihat Jakarta setelah bertahun-tahun merantau.

Aruna dan Lidahnya (2018)

Film ini diangkat dari buku berjudul sama karya Laksmi Pamuntjak.

Tidak seemosional comfort film dalam daftar saya sebelumnya. Tapi film ini banyak bercerita tentang makanan di berbagai daerah dan saya suka itu!

Ceritanya tentang Aruna yang ditugasi kantornya untuk menginvestigasi kasus “flu burung” yang terjadi di berbagai daerah. Kesempatan ini lalu dimanfatkan olehnya dan Bono yang sama-sama gemar kulineran untuk mencobai berbagai makanan khas nusantara.

Di tengah jalan bergabung Nadezhda dan Farish. Nadezhda adalah penulis buku yang ditaksir Bono dan sekaligus juga teman Aruna. Sedangkan Farish adalah mantan gebetan Aruna di kantor lamanya.

Mereka berempat lalu mengunjungi berbagai tempat untuk merasakan makanan khas daerah yang mereka datangi. Ini menarik!

Dulu saya dan seorang teman pernah melakukan hal ini. Kami sering menyisakan waktu untuk jalan-jalan ke banyak tempat untuk merasakan kuliner khasnya. Banyak pelosok gang di Jakarta yang kami jalani, begitu juga lokasi-lokasi kuliner di seantero nusantara.

Uniknya, kami berdua melakukan itu dengan berangkat dari buku karya Laksmi Pamuntjak berjudul “The Jakarta Good Food Guide” yang terbit pertama kali pada tahun 2001. Dari buku yang membuat kami benar-benar terkesima akan kelengkapannya inilah ide jalan-jalan kulineran (dan waktu itu kami sempat membuat blog bersama) muncul.

Comfort Movie Untuk Kesehatan Mental

Jadi seperti yang saya sebut di awal tulisan ini, setiap kali saya menonton comfort movie pilihan saya maka saya merasakan kebahagiaan.

Bermacam hal baik menyangkut jalan cerita, tokoh-tokoh, lokasi syuting, dan nilai-nilai dalam comfort movie bisa membangkitkan kembali kenangan dan memberikan kehangatan di hati.

Bagaimana dengan Anda? Punya comfort movie juga?

You might also enjoy:

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mastodon