OK, saya bukan orang yang gemar membuat resolusi di awal tahun untuk kemudian berusaha (atau tidak berusaha karena akhirnya lupa di tengah jalan) mewujudkannya dan mengevaluasinya di akhir tahun. Saya orang yang lebih suka menjalani hari-hari dalam setahun secara alami saja. Ada masalah apa dalam hari itu, ya saya tangani. Kalau tak ada masalah, ya tidak saya “buat-buat” sejak awal tahun supaya seolah-olah saya harus menyelesaikan masalah yang saya “buat-buat” sendiri itu.

Depan rumah.

Biarlah saya dibilang sebagai orang yang tidak punya ambisi, tidak punya tujuan, tidak ingin lebih maju daripada tahun-tahun sebelumnya. Karena toh saat saya ikut-ikutan membuat resolusi di awal tahun, dalam beberapa bulan saja saya sudah lupa akan resolusi itu. Jadi apa bedanya dengan tidak membuatnya sama sekali?

Begitupun keinginan untuk menulis secara rutin apa yang terjadi dalam satu bulan selama tahun 2021 di blog saya. Inipun bukan resolusi. Hanya sekadar supaya blog saya ini tetap terisi karena sudah saya bayar mahal. Juga sekadar pengingat akan apa yang saya lewati dalam setiap bulannya. Karena kalau dipikir-pikir, walau bulan baru berputar satu kali dalam tahun ini, tapi hidup saya sudah bagaikan kereta luncur alias roller coaster. Ada bermacam hal terjadi dan bila tidak dicatat, saya akan lupa untuk mengambil pelajaran darinya.

Ya sudah, saya mulai saja catatan saya tentang Januari 2021.

Pertama, tahun 2021 ini dibuka dengan kesendirian. Sejak akhir November saya memang memilih untuk tinggal di Cipanas sendirian. Kebijakan pemerintah yang membatasi pergerakan warga demi menekan kasus Covid-19, walau nggak ngaruh-ngaruh amat membuat pergerakan saya juga terbatas. Setidaknya saya jadi malas kalau dalam perjalanan ke Jakarta saya tiba-tiba dicegat petugas dan disuruh putar balik. Jadi ya sudah saya berdiam di Cipanas dan tidak ke mana-mana saja dulu.

Kesendirian saya selama berbulan-bulan kemudian menimbulkan aneka kebiasaan baru. Mulai dari jam tidur, jam makan, sampai ke hal-hal menata rumah dan pekarangan agar terasa lebih nyaman. Karena selama ini saya kelamaan tinggal di Jakarta, maka kenyamanan rumah sendiri di Cipanas jadi terabaikan. Ini yang saya perbaiki sedikit demi sedikit agar tinggal di Cipanas, sendirian, jadi hal yang menyenangkan.

Jambu di kebun yang siap dinikmati.

Kedua, seperti tahun sebelumnya, rezeki datang saat saya sedang berada di Cipanas. Ada orang yang ingin memanfaatkan sebagian kecil dari tanah saya. Ya, namanya rezeki, tak boleh ditolak. Dalam beberapa hari urusan beres dan saya sangat bersyukur ada pemasukan tambahan dari sewa-menyewa ini. Suami saya lalu berkomentar: “kamu udah kayak orang Betawi deh, pemasukannya dari nyewa-nyewain tanah.”

Ketiga, ada kabar gembira tentu tak lengkap jika tak ada kabar duka. Pertama (urutan ini berdasarkan tanggal, bukan berdasarkan penghormatan) salah satu dari tiga kucing yang ikut menemani saya di Cipanas, meninggal. Didahului dengan lemas dan tidak mau makan, akhirnya di hari Kamis yang basah karena gerimis seharian, dia meninggal. Saya kuburkan di bawah pohon alpukat supaya dia bisa segera kembali ke alam.

Kabar duka kedua datang dari Bali dan ini mengguncang hidup saya. Pak Yanto, orang yang sudah belasan tahun memegang usaha saya di Bali meninggal mendadak. Saya bahkan baru tahu, dari klien, di tengah malam saat saya terbangun dan membaca pesan singkat di HP. Kok bisa malah dari klien? Karena saya benar-benar tidak menyangka kejadian ini terjadi.

Pagi itu saya masih berkomunikasi dengan pak Yanto, berbicara ini-itu tentang pekerjaan. Lalu di siang hari ada panggilan tak terjawab dari Beliau, tapi saya diam saja karena biasanya bila ada hal yang ingin ditanyakan, Beliau akan menelpon lagi atau mengirim pesan singkat. Jadi ya saya pikir tidak ada apa-apa saat tidak ada lagi kabar dari Beliau. Tapi rupanya justru panggilan tak terjawab itulah panggilan dari keluarga pak Yanto yang hendak mengabarkan bahwa Beliau meninggal.

Setelah mendengar kabar Beliau meninggal di tengah malam, saya tidak bisa tidur lagi. Berbagai pikiran berputar-putar di kepala saya. Mulai dari rasa tidak percaya, kehilangan, sampai ke hal-hal yang berkait dengan pekerjaan. Jam tiga pagi saya mengirim kabar ke klien di Australia yang dilanjutkan dengan panggilan video penuh tangis karena hubungan kami dengan pak Yanto memang sudah layaknya saudara. Belasan tahun kami bekerja bersama menghadapi berbagai hal, sehingga persaudaraan kami benar-benar sudah teruji. Merupakan berita yang menyedihkan ketika kami kehilangan pak Yanto.

Pak Yanto dimakamkan pada 20 Januari, sehari setelah meninggal. Kami semua berduka. Di hari ketujuh istri Beliau mengabari bahwa pak Yanto telah memiliki orang kepercayaan yang bisa melanjutkan pekerjaan Beliau. Sebuah berita melegakan di tengah sesaknya pikiran saya tentang kelanjutan pekerjaan di Bali. Semoga saja ini adalah awalan yang baik untuk usaha yang lebih teratur dan rapi.

Keempat, bulan ini juga menjadi bulan di mana saya diajari dengan cara yang cukup keras tentang hidup minimalis, sebuah kehidupan yang sejak 2015 sudah pernah saya tulis dan cita-citakan tapi tidak pernah terwujud karena saya memang gemar mengumpulkan (baca: belanja) barang-barang.

Tahun lalu, saya dan suami bergembira karena pindahan dari ruangan kecil ke sebuah rumah kecil. Kegembiraan ini rupanya membuat kami jadi gemar menumpuk barang. Mulai dari alat masak sampai ke printilan-printilan lain memenuhi setiap sudut ruangan. Akhirnya kami kewalahan sendiri. Jadilah suami saya mengambil keputusan keras dan mendadak bahwa kami perlu pindah ke ruangan yang lebih kecil dengan hanya membawa pakaian saja. Semua barang yang sudah terlanjur bertumpuk harus kami bawa ke Cipanas. Inilah pelajaran keras yang saya terima.

Begitulah Januari berlalu. Benar-benar seperti naik kereta luncur. Semoga saja saya bisa memetik pelajaran berharga dari apa yang sudah saya lewat sepanjang bulan pertama ini.

You might also enjoy:

2 Comments

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mastodon