Covidiot! Jangan-jangan cap itu yang akan disematkan pada saya setelah membaca tulisan tentang bulan Juni ini.
Bulan Juni memang agak unik. Bulan ini dibuka dengan perjalanan saya ke Jakarta untuk berkumpul dengan suami. Berangkat subuh-subuh, saya sempat heran, Puncak kok rame banget?! Iya sih ini hari libur (hari Kesaktian Pancasila) dan memang berdekatan dengan liburan sebelumnya dan juga libur akhir pekan. Apalagi, aturan pembatasan perjalanan mudik juga baru saja dicabut. Jadi apakah mungkin ini adalah tumpukan orang-orang yang terkungkung selama bulan puasa dan lebaran yang berusaha melepas penat ke kawasan Puncak? Atau ya memang dasarnya orang-orang sudah makin banyak yang jadi covidiot alias abai saja dengan kondisi pandemi sekarang ini? Untung saja perjalanan saya cukup lancar. Bahkan ketika sampai di rumah suami, portal masih tergembok dan saya terpaksa menunggu di mobil untuk beberapa saat.
Di perjalanan saya kali ini, selain menemui suami, juga ada beberapa misi yang hendak saya lakukan. Pertama, bahkan di hari kedua setelah sampai Jakarta, saya langsung pergi ke dealer kaca film untuk mengganti kaca film mobil yang sudah bertahun-tahun saya keluhkan karena warnanya yang sudah luntur dan membuat matahari begitu terasa panas di dalam mobil. Kedua, saya juga harus menservis motor yang sudah terdiam di rumah suami selama berbulan-bulan. Selain itu, juga ada bermacam belanjaan dari toko daring yang harus saya beli karena selama ini terkendala dengan urusan pengiriman. Kalau dikirim ke alamat saya di Puncak, biayanya akan lebih tinggi dan kemungkinan rusak juga besar. Tidak hanya itu, saya juga harus mengurus beberapa kartu debit yang masa berlakunya habis ke bank-bank di dekat rumah suami.
Keseruan berlanjut dengan jalan-jalan dan belanja-belanja. Mulai dari ke IKEA sampai ke penjual bakpao di Kelapa Gading yang sudah bertahun-tahun dimongin suami tapi baru kesampaian sekarang untuk dicobai. Berbagai makanan sampah (junk food) juga saya konsumsi selama di Jakarta. Sebuah balas dendam karena selama ini saya hanya makan daun-daunan di rumah Puncak.
Tanggal 11, saya dan suami ke Puncak. Dia ambil cuti yang sudah tidak diambilnya selama pandemi ini. Perjalanan sangat menyenangkan. Di Puncak, walau entah kenapa internet di rumah mendadak sering ngadat, kami sangat menikmati kebersamaan. Pandemi yang membuat suami jadi sangat susah untuk pergi ke rumah Puncak membuat berkumpul di rumah ini jadi terasa istimewa.
Tanggal 14, kami ke Bandung. Ini pertama kalinya kami “berlibur” sejak pandemi terjadi sekitar 1,5 tahun lalu. Perjalanan ke Bandung lewat jalur Cianjur selalu membawa kenangan. Jalur ini semasa saya kecil adalah jalur favorit bila hendak ke Bandung dari Jakarta. Selain pemandangannya yang menarik, restoran dan aneka pusat jajanan juga lebih banyak dibandingkan jalur-jalur lain. Tapi sekarang, sejak ada tol yang menghubungkan Jakarta dan Bandung, jalur ini terasa jadi jalur yang gersang. Banyak restoran besar yang tutup dan meninggalkan bangunan rusak penuh coretan orang-orang iseng. Begitu juga pusat-pusat jajanan dan oleh-oleh, terlihat sepi dan minim pengunjung. Jalanan ini sekarang mengingatkan saya pada kisah Route 66 di Amerika sana yang juga “mati” akibat adanya jalan-jalan baru yang lebih cepat.
Perjalanan ke Bandung memang bukan murni liburan. Ada urusan penting yang harus saya selesaikan di sana. Tapi urusan itu memang hanya butuh beberapa jam saja. Sisanya, dengan pilihan hotel yang berlokasi di Braga, juga fasilitas yang lumayan lengkap, maka ya jadi liburan deh rasanya. Kami tinggal di Bandung selama 3 hari dan 2 malam. Keliling ke beberapa tempat makan bersama sepupu kesayangan dan juga menikmati kolam renang yang sudah lama tidak kami temui di hotel.
Dari Bandung kami kembali ke Puncak dan tinggal untuk beberapa hari lagi. Setelahnya, tanggal 21, kami kembali ke Jakarta. Misinya kali ini adalah untuk mendapatkan vaksin. Jadilah tidak lama setelah sampai Jakarta, saya langsung menuju ke rumah seorang teman di bilangan Pasar Minggu untuk mengurus surat domisili. Kebetulan orang tua teman saya adalah penduduk lama di lingkungan situ. Dengan bekal itu maka saya berharap pengurusan surat domisili akan menjadi lebih mudah. Dan memang sih urusannya mudah, tapi sayang pengurus RT dan RW-nya sedang agak sibuk, jadi justru kami harus menunggu lama karena itu. Tapi bagaimanapun saya tetap bersyukur akhirnya saya punya surat domisili yang akan menjadi senjata saya untuk mendapat vaksin.
Tanggal 22, suami vaksin duluan karena memang didaftarkan kantornya yang termasuk dalam industri kreatif. Vaksinnya Astrazeneca, tempat vaksinnya di Cakung. Jauhnya bukan main! Tapi ya tetap senang sih, akhirnya suami dapat vaksin. Malamnya suami merasa demam tapi tidak parah. Bahkan di hari berikutnya, dia sudah bisa mengajak saya untuk pergi ke Gandaria City untuk memperbaiki rambutnya yang kacau karena dipotong oleh pemangkas rambut di Bandung.
Tanggal 24, giliran saya yang divaksin. Deg-degan sejak malam sebelumnya karena takut surat domisili bermasalah, tapi untungnya semua yang ditakutkan tidak terjadi. Saya mendapat vaksin ini dari kantor suami yang menginfokan bahwa YCAB membuka vaksinasi lantatur alias drive thru. Semua berjalan lancar dan sangat cepat. Setelah vaksin saya langsung ditraktir makan rice bowl di Sunny Fatday yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat saya divaksin. Enak banget rasanya! Saya sampai habis 2 porsi!
Malamnya, lagi-lagi saya ditraktir. Kali ini Bakmi GM. Karena saya memang sempat bilang ke suami, saat saya kecil dulu, kalau sedang sakit, Ibu selalu membuatkan nasi tim ayam. Jadilah malam ini dia membelikan saya nasi tim ayam dari Bakmi GM plus bermacam makanan lain yang bikin kami kekenyangan.
Untungnya KIPI yang saya dan suami rasakan sangatlah minimal dan bisa diabaikan. Bahkan sehari setelah vaksin kami bisa jalan-jalan ke Lulu, lanjut makan di Pizza Hut BSD, dan masih lanjut lagi balik ke Q-Big untuk ke ACE dan jalan-jalan santai di seputarnya. Benar-benar seperti covidiot yang setelah divaksin langsung jalan-jalan ke sana-kemari.
Hari berikutnya jalan-jalan masih berlanjut. Kali ini ke IKEA. Borong ini-itu dan makan malam di sana.
Dan kegilaan kami selama Juni ditutup dengan makan dim sum di restoran favorit kami di kawasan Mangga Dua. Puas banget!
Seperti judulnya, Juni ini kami benar-benar merasa seperti covidiot yang jalan-jalan ke sana-kemari padahal masih pandemi. Pembelaannya adalah: kami sudah terkungkung selama satu tahun lebih. Benar-benar tidak ke mana-mana. Selalu di rumah sampai-sampai kami harus pisah rumah demi menjaga kesehatan mental. Cukupkah ini jadi pembelaan sebelum kami dicap sebagai covidiot?
Huhuhu… Kok kayaknya enaaak makan-makannyaaa… Aku juga mau… Apalagi pas ngeliat foto steaknya! Duh, jadi ngiler! Tolong segera angkat pandemi ini, ya Tuhan. Kimi mau makan steak soalnya.
Amiiinnn! Iya, semoga pandemi ini segera berakhir ya.
Itu steaknya memang juara kelas sih. Semoga aja mereka segera buka cabang di Jakarta biar nggak usah jauh2 ke Bandung untuk makan steak itu.