“Kamu itu apa-apaan sih? Sudahlah kayak papa aja. Papa ini walaupun nggak tau apa-apa tentang agama yang papa anut, tapi papa nggak akan pernah mau pindah agama.”

Sore itu, ketika langit Jakarta mulai gelap dan lampu-lampu jalan mulai bersinar redup, saya dan seorang teman terdampar di sebuah kedai es krim tenar di kawasan Menteng.

Tubuh kami lunglai setelah seharian menjelajah kawasan kota tua Jakarta. 

Asap rokok mengepul dari mulut lawan bicara saya. Obrolan kami sore itu memang agak berat. Tak salah jika rokok dan kopi pahit ikut ambil bagian.

“Itu reaksi bokap gue waktu gue bilang mau nganut agama yang lain dari bokap-nyokap gue.”

Trus loe jawab apa?”

Gw bilang: “Justru itu, Pa. Aku nggak mau nganut agama tanpa tahu apa-apa tentang agama itu. Buat apa aku beragama dong kalau gitu?'”

Saya terhenyak dengan kata-kata terakhirnya. Saya seperti tersadarkan bahwa itu juga yang terjadi pada diri saya. Saya mencari tahu tentang agama-agama yang ada agar saya bisa memilih, mana yang paling ‘memanggil’. Bukan sekadar karena orangtua menganut agama tertentu maka saya harus ikut begitu saja.

Ini kemudian membawa saya pada pemikiran bahwa di zaman yang makin modern, di mana arus informasi begitu cepat dan mudah didapat, banyak orang sadar bahwa untuk memercayai sesuatu, butuh pengetahuan yang cukup.

Di Twitter, banyak akun yang begitu satir menuliskan tentang kuasa ‘Tuhan’ dan apa yang sebenarnya terjadi di dunia atas kekuasaan-Nya tersebut. Misalkan digambarkan adanya seorang anak busung lapar yang tergeletak sekarat di tanah berdebu dan panas, lalu dituliskan: “Tuhan memang mencintai semua manusia. Termasuk anak ini.” Kicauan-kicauan satir itu secara tidak langsung mempertanyakan keberadaan Tuhan dan kekuasaan-Nya yang maha dahsyat. Inilah informasi-informasi yang saat ini begitu terbuka dan mudah diakses dari manapun.

Maka, ketika kami beragama, kami mempelajari dulu seperti apa agama yang akan kami anut. Bukan sekadar ikut-ikutan atau berlandaskan pada keturunan semata. Kami bertanya. Kami mengumpulkan informasi. Supaya mata kami terbuka dan demikian juga hati kami. Kami tidak membutakan diri pada keharusan beragama atau beragama tertentu, seperti yang masih dilakukan oleh banyak orang.

Asap rokokpun mulai menipis. Kopi pahit terseruput habis. Lonceng gereja tua di samping kedai es krim inipun dibunyikan untuk memanggil umatnya.

Hari itu hari Minggu.

Sumber: montymckeever.com

You might also enjoy:

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mastodon