Getir, itulah kesan yang timbul setelah selesai menonton film ini. Karenanya, menonton film ini di saat kesedihan sedang menggelayut di hati sangatlah tidak saya sarankan. Melankolia menurut saya benar-benar tidak menyisakan jeda untuk tersenyum kecuali saat melihat kuburan Kambing.
Film yang diangkat dari novel karya Marchella FP ini berkisah tentang satu keluarga yang kehilangan salah satu anggotanya dalam sebuah kecelakaan pesawat. Upaya tiap anggota keluarga dan orang-orang yang ikut kehilangan itulah yang membuat film ini jadi menarik. Karena setiap orang punya cara berbeda dalam menghadapi rasa kehilangan.
Dalam hidup, manusia datang dan pergi. Setiap ada kedatangan, selalu ada kepergian. Setiap ada perjumpaan, selalu ada perpisahan. Tidak ada satupun manusia yang bisa menghindar dari hal itu. Namun seperti halnya setiap manusia adalah individu yang unik, demikian juga cara menyikapi rasa kehilangan yang timbul dari hal yang tak terhindarkan ini, berbeda dari satu manusia ke manusia yang lain. Ini yang membuat lapisan-lapisan konflik dalam film Generasi 90an: Melankolia bisa dibilang rumit untuk sebuah film Indonesia.
“Selamanya ikhlas akan menjadi pekerjaan yang nggak mudah, sepanjang hidup kita akan terus belajar.”
Film yang hemat dialog ini berusaha menggambarkan kegetiran, kehilangan, dan kesedihan dalam gambar-gambar yang gelap dan murung tanpa banyak bicara. Ini juga sangat menarik karena memang diam dan kesunyian kadang lebih bisa menggambarkan rasa sedih daripada ceceran air mata seperti yang sering saya lihat di sinetron-sinetron.
Hal lain yang menarik dalam film ini adalah dipilihnya sosok berwajah “manis” seperti Ari Irham untuk memerankan karakter yang tanpa diduga menyalurkan rasa kehilangan ke suatu sudut yang berbeda. Dia yang merasa paling bertanggungjawab atas meninggalnya sang kakak mencari sosok yang sangat diidolakannya itu pada Sephia (Taskya Namya) dengan cara yang tidak biasa. Perbuatannya kepada sang pacar juga cukup mengejutkan. Saya tidak bilang bahwa dia bermain bagus ya di sini, saya hanya bilang bahwa wajah manisnya cukup menarik untuk tokoh Abby dalam film ini.
Satu-satunya hal yang agak kurang dalam film ini adalah penggambarannya tentang era 90an. Di awal, film ini terlihat berusaha keras menggambarkan hal itu dengan “meniru” pembukaan serial “Reply 1988” (2015). Bahkan tingkah polah Indah, sang kakak, menurut saya meniru Sung Deok-sun dalam serial itu. Namun, semakin lama penggambaran era 90-an semakin terlepas dari film ini. Ya, mungkin memang bukan itu sih tema film ini, tapi dari judulnya saya sungguh berharap bisa sedikit bernostalgia dengan era di mana saya dibesarkan itu seperti yang pernah tergambar dalam film Bebas yang pernah saya ulas di sini.
Secara keseluruhan film ini menarik untuk ditonton karena cukup berbeda dengan film-film Indonesia lainnya.
Pas Mas Danang ngeplurk film ini aku masih belum minat buat nonton, tapi pas liat trailernya dan ada Gunawan, aku tergoda pengen nonton. Subhanallah, om-om satu itu ya… Awet muda banget.
Wah…wah…! Waktu dulu Gunawan tenar bersama Anjasmara, aku lebih milih Anjasmara. Tapi sekarang, memang kelihatan Gunawan lebih awet muda ya.
Tapi bagaimanapun…aku tetap lebih milih anaknya Gunawan. #eh