Akhir tahun 2022 kami tutup dengan melakukan perjalanan menyurusi pantai utara Jawa atau yang lebih dikenal dengan Pantura. Kalau di awal tahun, seperti yang terekam dalam tulisan ini, kami memilih untuk memakai tol trans Jawa karena itu adalah pengalaman pertama melintasinya, maka tahun ini kami memilih untuk lewat jalan non tol alias jalan lama Pantura yang dulu penuh momok bahaya, baik karena seringnya terjadi kecelakaan ataupun masalah-masalah lain.
Perjalanan kami ini sedikit banyak terinspirasi oleh sebuah film besutan Riri Riza yang tayang perdana pada tahun 2007 yaitu “3 Hari untuk Selamanya“. Film ini, walaupun menurut seorang teman adalah sebuah film yang depresif, tapi bagi saya adalah sebuah film bertema perjalana yang cukup lengkap. Di dalamnya ada kesenangan saat melakukan perjalanan, ada pertengkaran, ada perbedaan pendapat, ada kesasar, dan akhirnya ada juga penemuan jati diri. Karena dalam sebuah perjalanan bersama orang lain maka seseorang akan terlihat watak aslinya dan bisa menemukan banyak nilai yang selama ini tak tergali dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perjalanan ini kami sama sekali tidak memesan hotel karena perjalanan ini adalah perjalanan yang bebas rencana. Jadi ya kami akan jalan saja dan bisa berhenti di manapun untuk menginap. Tapi memang karena terbatas oleh waktu maka kami harus menentukan titik terjauh dulu dalam perjalanan ini. Dan titik terjauh itu jatuh pada sebuah daerah bernama Lasem.
Saya pertama kali mendengar reputasi Lasem dari guru bahasa Mandarin yang memamerkan foto sebuah daerah yang kental dengan nilai-nilai budaya percampuran antara Jawa dan Cina. Tidak hanya itu, bangunan tua dengan arsitektur khas Cina yang menarik juga ada di sana. Tak heran kalau Lasem disebut sebagai “Tiongkok Kecil” karena memang di tempat inilah awalnya para imigran dari Cina mendarat dan mendirikan perkampungan. Dan seperti layaknya tempat-tempat yang kental akan akulturasi budaya, maka Lasempun terkenal dengan motif dan warna batiknya yang merupakan percampuran antara dua budaya yang telah saya sebut sebelumnya.
Selain itu perjalanan ini juga dengan perjanjian bahwa kami tidak akan saling mengganggu tujuan masing-masing. Ini persis sama dengan perjanjian saat saya dan dua orang teman melakukan perjalanan melintasi negara-negara di Asia Tenggara beberapa tahun lalu.
Maksud perjanjian ini adalah, ketika kami melewati atau berhenti di suatu daerah maka kami boleh berpisah sesuai keinginan masing-masing. Tidak perlu saling mengikuti atau menunggui. Jadi buat saya yang lebih senang meresapi perjalanan dengan mengecapnya alias wisata kuliner maka saya bebas berjalan-jalan mencari makanan khas daerah yang saya datangi. Sementara untuk suami yang lebih suka menikmati perjalanan dengan mengabadikan tingkah laku dan kebiasaan masyarakat setempat dengan kameranya, maka dia juga bebas berjalan-jalan blusukan ke gang-gang sempit atau pasar yang becek untuk mendapatkan keaslian yang ingin dia cari.
Dan begitulah perjalanan ini kami mulai dengan titik awal di Jakarta dan titik terjauhnya di Lasem. Bagaimana keseruan dan apa saja yang kami temui di sepanjang perjalanan, akan saya tulis dalam sebuah seri perjalanan dengan tema “Suka Ria di Pantura”.