Sejarah main klaim sendiri tampaknya kembali marak belakangan ini. Kenapa saya pakai kata “kembali”? Karena menurut saya, “main klaim sendiri” memang sudah menjadi kebiasaan kelompok-kelompok tertentu dan bukan hal baru bagi mereka. Tapi saya tidak ingin terjerumus dalam debat politik-politikan di blog yang harusnya adem-ayem ini. Saya ingin melihat hal lain di balik itu.
Sejarah yang Membosankan
Bagi saya yang dibesarkan dalam era Orde Baru, pelajaran sejarah secara formal dimulai dengan mata pelajaran bernama PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) di kelas 1 SD. Saya ingat pernah berkata pada almarhum Ibu bahwa pelajaran yang paling saya suka di sekolah adalah PSPB. Tapi sayangnya ini tidak berlangsung lama. Setelah bertahun-tahun duduk di bangku sekolah, bosan juga saya dengan pelajaran sejarah yang lama-lama bukannya memberi pencerahan (menurut saya belajar harusnya memberi pencerahan), tapi malah jadi membosankan karena isinya hanya menghafal tahun-tahun dan nama-nama raja serta tokoh nusantara. Tidak pernah ada pendalaman materi yang berkait dengan pokok, koteks, apalagi keragaman pendapat tentang sebuah peristiwa sejarah. Semua bersifat lurus, tak pernah bercabang, padahal seperti yang saya tahu belakangan, ilmu sosial atau humaniora selalu memiliki percabangan pendapat antara satu ahli dengan ahli lainnya.
Begitulah kenyataannya, bagaimana saya dicekoki tentang sejarah bangsa ini dan berakhir dengan kebosanan dan keengganan untuk mengulik lebih jauh tentang hal itu karena ya gitu, semua terasa begitu steril dan rigid.
Angin reformasi berembus. Banyak orang kembali mempertanyakan sejarah yang ditulis oleh penguasa sebelumnya. Fakta-fakta dan pendapat yang selama ini dijauhkan dari pikiran masyarakat lalu mulai diperkenalkan. Buku-buku yang dulu dilarang beredar karena dianggap tidak sesuai dengan sejarah versi rezim penguasa kini masuk bak gelombang tinggi yang melibas kepercayaan-kepercayaan tunggal yang selama ini dikukuhkannya.
Lucunya, ini bukan menambah keragaman berpikir dan membuka jalan diskusi, tapi bagi sebagian orang justru menjadi jalan untuk menghalalkan kekerasan yang tampaknya memang sudah mendarah daging. Maka mulai seringlah terdengar bahwa diskusi-diskusi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang “dirugikan” oleh sejarah versi penguasa masa lalu dibubarkan paksa oleh mereka yang masih menganggap bahwa sejarah harusnya tanpa variasi apalagi revisi. Bahkan film lawaspun minta diwajibkan untuk ditonton lagi demi mengingatkan pada sejarah versi penguasa lama.
Sayangnya pada sebuah gerbong kemajuan selalu ada “penumpang gelap” yang hendak memanfaatkan keadaan. Semacam “kesempatan dalam kesempitan” kalau mau meminjam istilah grup lawak Warkop DKI. Mereka ini ikut mengembuskan “sejarah palsu” yang tentu tidak didasari oleh fakta dan data yang jelas. Mereka membuat klaim-klaim yang seolah berdasarkan sejarah. Hebatnya, banyak orang yang yang percaya begitu saja akan klaim tersebut padahal sang pengucap tidak pernah mengenyam pendidikan tentang sejarah apalagi ahli dalam ilmu itu. Kalau sudah begini, saya teringat pada istilah “matinya kepakaran” yang dipakai oleh Tom Nichols sebagai judul buku.
Apa yang Salah?
Saya memang bukan ahli pendidikan. Tapi sebagai “korban” pendidikan, saya rasa seharusnya sejak awal kita diajak untuk mengenal keragaman berpikir. Ini penting karena dalam kehidupan nyata mustahil semua hal seragam.
Dengan mengenal keberagaman berpikir sejak awal maka kita akan terbiasa untuk kritis dan bertanya tentang mana di antara pemikiran yang beragam itu yang sesuai dengan fakta dan kenyataan, serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dari situ lalu kita juga akan terbiasa berpikir kritis, tidak langsung percaya pada suatu hal hanya karena “dibumbui” dengan begitu lezatnya hingga merusak nalar.