Karena jarak dari Semarang ke Solo lewat tol hanya sekitar 75 km, maka kami memutuskan untuk pergi ke sana. Hanya satu malam memang, tapi rupanya kami bertemu dengan banyak hal mengejutkan yang menjadi kenangan indah bagi kami berdua dan salah satunya adalah Sriwedari.
Setelah melepas lelah di hotel dan menikmati loenpia Semarang yang lezatnya bukan alang kepalang, kamipun kembali bersiap untuk menuju bagian lain dari kota ini. Sebelumnya, bila terlewat membaca tulisan sebelum ini, maka saya perlu mengingatkan bahwa ini adalah bagian ketiga dari rangkaian tulisan tentang perjalanan mencari matahari terbit.
Kota Lama Semarang adalah sebuah kawasan yang sering disebut sebagai “Little Netherland” atau “Netherland mini”. Di kawasan ini, gedung-gedung peninggalan masa kolonial Belanda terlihat berjajar, membentuk sebuah kompleks, hingga membuat suasana seolah-olah kita sedang di Eropa. Membaca ulasan tentang tempat ini, saya awalnya bergidik karena katanya lahan parkirnya dikuasai preman yang menarik uang parkir seenaknya hingga banyak orang kesal. Untungnya pemerintah kota Semarang cukup tanggap dalam menangani masalah ini. Kini tersedia kantong-kantong parkir dengan palang pintu otomatis yang tarifnya sesuai dengan peraturan dan bisa dibayar menggunakan uang elektronik. Ini tentu cukup menenangkan apalagi buat pelancong seperti kami berdua.
Sore itu kawasan Kota Lama Semarang cukup lengang. Hanya tampak beberapa orang berfoto-foto di jalan utama, dekat Gereja Blenduk. Sisanya, di bagian belakang, suasana cukup sepi bahkan cenderung membosankan. Saya berjalan mengelilingi kawasan itu dan berakhir dengan duduk menyesap kopi dan es krim di “Oud En Nieuw” yang merupakan cabang dari toko Oen. Bagi kami hal yang paling menyedihkan dari kawasan Kota Lama Semarang adalah penempatan papan nama tempat usaha yang memakai gedung-gedung tua itu. Papan nama- papan nama tersebut tidak diatur dengan baik sehingga sangat merusak pemandangan. Seharusnya, menurut saya, titik penempatan, ukuran, bahkan kalau bisa juga warnanya harus diatur.
Malam itu, setelah lelah berjalan-jalan seharian, kami punya bayangan menyenangkan akan makan sebuah makanan khas Jepara yang tidak banyak dikenal orang tapi cukup sering dimasak Ibu saya sehingga menyebut namanya saja mengingatkan saya pada beliau. Makanan itu adalah Pindang Srani dan setelah Googling maka tempat yang menjual makanan itu di Semarang serta mendapat penilaian bagus terletak di daerah Tembalang, dekat kampus UNDIP. OK, kami akan ke sana!
Namun rupanya kami sedang sial. Tempat yang kami bayangkan menyediakan Pindang Srani dengan rasa asli yang nikmat itu rupanya hanyalah sebuah tempat makan yang sangat mengecewakan. Ikannya tidak segar, rasa makanannya tidak enak, suasana tempat makannya berantakan, ditambah lagi lokasinya sangat jauh. Jadilah sebagai pengobat rasa kesal, kami mampir dulu ke McD. Hahaha…
Perjalanan ke Solo
Hari berikutnya kami check-out cepat dari hotel untuk menyempatkan sarapan di Soto Bangkong sebelum lanjut ke kota Solo. Soto Bangkong seperti biasa menyajikan soto khas Semarang dengan aneka pendampingnya. Sate kerang dan telur puyuh tentu pilihan saya!
Perjalanan kami lanjutkan ke Solo. Masuk tol dan menikmati pemandangan indah yang konon menyamai pemandangan di Eropa sana. Sayang kami tidak jadi mampir ke Salatiga karena merasa kurang persiapan.
Sampai di Solo, kami langsung menuju hotel yang sejak awal membuat kami penasaran. Hotel ini konon menyatu dengan galeri barang antik, jadi dari foto-foto yang kami lihat, lumayan “menyeramkan”. Ah, tentang ini saya rasanya perlu ceritakan dulu. Jadi, kalau bepergian, saya punya kebiasaan memilih hotel-hotel yang terlihat atau terdengar angker. Debin tidak keberatan sih, asalkan hotelnya cukup bersih. Karena menurut dia, hotel yang dibilang angker di Indonesia adalah hotel-hotel yang cenderung kotor dan tidak terawat, makanya dibilang menyeramkan dan lalu dianggap angker. Untungnya hotel yang kami pilih di Solo ini cukup bersih, bahkan berbintang 5. Jadi ya, harusnya sih kalaupun angker, tetap menyenangkan ya.
Dari segi lokasi, hotel kami sangatlah strategis. Terletak di jalan utama kota Solo, kami berdua bisa berjalan kaki ke mana-mana. Mulai dari Keraton, pasar Gede, balai kota, juga benteng Vastenburg. Dari segi keindahan dan kenyamanan, hotel pilihan kami juga juara! Setelah sekian lama jalan-jalan dan menikmati hotel “budget”, tidur di hotel berbintang 5 memang beda rasanya. Tidak berhenti sampai di situ, kami beruntung mendapat fasilitas “up grade” alias naik kelas sehingga kami mendapatkan kamar yang jauh lebih besar dengan pemandangan kota Solo yang luar biasa. Dan karena itulah saya jadi terlena dan memilih untuk menikmati kamar saja sementara debin keluar berjalan-jalan mencari obyek foto. Satu-satunya hal yang membuat saya akhirnya keluar kamar siang itu adalah Tengkleng.
Tengkleng adalah kuliner khas Solo berbahan utama tulang dan jeroan kambing. Konon kabarnya, di masa lalu, hanya bangsawan dan orang kaya yang bisa makan daging. Rakyat jelata hanya kebagian tulang dan jeroan, dari situlah muncul masakan ini. Tengkleng sendiri sebenarnya memang terlihat seperti gulai, hanya saja kuah tengkleng encer karena tidak memakai santan sebagai campurannya. Bumbu tengkleng yang penuh rempah-rempah membuat rasa masakan ini begitu kaya.
Saya sendiri siang itu mendatangi Tengkleng bu Edi yang menurut sepupu saya adalah kesukaan Bapak dan Ibu saya semasa hidupnya dulu. Siang itu, walau sudah lewat jam makan siang, tengkleng bu Edi tetap penuh pembeli. Setiap orang yang baru datang diberi nomor urut antrean. Ketika nomor urut dipanggil, pemilik nomor harus segera menghadap bu Edi untuk memilih isi tengkleng yang dia mau. Pilihannya macam-macam, mulai dari babat, usus, hati, paru, otak, mata, pipi, lidah, tinggal sebut saja. Kalau tidak ingat umur dan kolesterol serta tekanan darah, rasanya saya ingin makan semua pilihan itu.
Sriwedari dan Pesona yang Tak Redup
Setelah menikmati sore dengan berenang di hotel dan makan Selat Solo, kamipun bersiap untuk acara istimewa malam ini. Ya, kami berdua merasa begitu beruntung karena berada di Solo saat pertunjukan di gedung wayang orang Sriwedari pentas pertama di tahun 2022 ini. Sudah lama saya menceritakan tentang wayang orang Sriwedari ke debin dan sama sekali tidak pernah terpikir bahwa kami berdua akan pergi ke tempat itu untuk menonton pertunjukannya.
Malam itu kami berjalan kaki dari hotel ke gedung pertunjukan. Begitu sampai, kami agak bingung karena gedungnya tampak sepi dan area sekitarnya begitu gelap. Dalam bayangkan kami, tak banyak orang yang akan menonton pertunjukan malam ini. Kamipun lalu mencari tempat pembelian tiket yang rupanya pas buka saat kami sampai. Setelah memilih 2 lokasi tempat duduk (saking murahnya harga tiket), kamipun duduk-duduk di “kantin” dadakan yang konon hanya buka saat ada pentas di gedung pertunjukan Sriwedari. Di kantin itu kami bertemu dengan rombongan “pelancong” yang konon salah satunya berasal dari Medan walau sebenarnya dia orang Jawa. Seru juga menikmati obrolan dadakan di kantin kecil itu.
Tak terasa waktu pertunjukan tiba, kami segera masuk ke gedung pertunjukan dan cukup kaget melihat bahwa malam itu penonton cukup ramai. Hampir semua tempat duduk di bagian depan terisi penuh. Sayangnya gedung pertunjukan ini tidak berundak-undak sehingga penonton yang duduk di belakang rasanya akan kurang nyaman karena tertutup oleh penonton-penonton di depannya. Untung saja saya dan debin cukup tinggi, jadi tidak masalah, tapi bagaimana dengan penonton di belakang kami yang tentu ketutupan badan dan kepala kami?
Pertunjukan berlangsung cukup panjang dan karena fasilitas “running text” selalu terlambat dalam menerjemahkan apa yang sedang terjadi di panggung padahal mikrofon di panggung kurang terdengar maka saya merasa agak bosan. Tapi satu hal yang buat saya menarik adalah di tengah kesederhanaan gedung pertunjukan ini, semua pemain, termasuk pemain gamelan di bawah panggung, bermain dengan maksimal dan apik. Dan mungkin karena itulah, walau sederhana, pesona pertunjukan wayang orang Sriwedari tak redup digerus zaman.
Dari Solo, kami kembali ke Semarang. Kali ini menginap di hotel penuh nostalgia, hotel di mana setiap tahun, keluarga besar saya berkumpul saling memaafkan dan melepas rindu. Berjalan-jalan ke tempat asal muasal keluarga besar Ibu saya. Dan itu akan saya tulis di bagian keempat sekaligus penutup rangkaian perjalanan mencari matahari terbit ini.